Kepada Indonesia tercinta,
Asian Games 2018 sebentar
lagi. Setelah 56 tahun, Indonesia akhirnya menjadi tuan rumah Asian Games lagi.
Ya, Indonesia pernah menjadi tuan rumah Asian Games ke-4 di tahun 1962,
menjadikan Indonesia salah satu negara penyelenggara sekaligus yang tidak pernah
absen mengikuti ajang olahraga terbesar kedua di dunia ini.
Asian Games 2014, yang
terakhir, di selenggarakan di Incheon, Korea Selatan. Indonesia berkompetisi
dengan atlet-atlet dari 45 negara lainnya dan mengantongi 4 emas, 5 perak, dan 11
perunggu di 36 cabang olahraga. Indonesia memang belum memecahkan rekor
pendapatan medali setelah Asian Games ke-4, tapi partisipasi Indonesia di ajang
ini menunjukkan usaha Indonesia untuk mewujudkan perdamaian dan ketertiban
dunia seperti yang diamanatan di Pembukaan UUD 1945. Karena, pada awalnya,
ajang ini bertujuan untuk untuk menunjukkan dominasi Asia melalui semangat
persatuan dan kehebatan Asia kepada dunia dengan cara nonmiliter.
Dalam prosesnya, banyak
konflik dan krisis mewarnai penyelenggaraan ajang empat tahunan ini. Mulai dari
konflik internal negara-negara anggota hingga konflik antarnegara dan
antarwilayah di Asia. Misalnya, pada Asian Games ke-4, Indonesia sendiri tidak
menerbitkan visa untuk delegasi dari Israel dan Taiwan karena tekanan dari negara-negara
Arab dan China. Hal ini membuat dianulirnya penyelenggaraan cabang olahraga
angkat besi. Walaupun begitu, penyelenggaraan Asian Games ke-4 di Gelora Bung
Karno saat itu bisa dibilang sukses dan menjadi tonggak sejarah penting media
di Indonesia.
Setahun sebelum Asian Games
ke-4, Presiden Soekarno memberi perintah untuk mendirikan televisi nasional. Tujuannya
agar warga Indonesia dapat mendukung para delegasi yang bertanding di Asian
Games. Pendirian stasiun televisi nasional ini masuk dalam proyek
penyelenggaraan Asian Games ke-4 dan rampung sebelum peringatan proklamasi kemerdekaan RI tahun 1962.
Televisi Republik Indonesia
atau TVRI menjadi nama resmi stasiun TV nasional Indonesia dan menjadikan
peringatan proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1962 di Istana Merdeka,
Jakarta sebagai siaran percobaannya. Tidak lama kemudian, upacara pembukaan
Asian Games ke-4 tanggal 24 Agustus 1962 di Gelora Bung Karno menjadi siaran
perdana TVRI. Setelah itu, TVRI berkembang tidak hanya menjadi satu-satunya
media yang mampu menjangkau seluruh wilayah nusantara hingga pelosok tapi juga
sebagai corong propaganda pemerintah.
Seiring dengan perkembangan
zaman dan teknologi, TVRI bukan hanya satu-satunya media yang mudah diakses
masyarakat. Pasca reformasi, pemerintah mendorong kebebasan pers dan dengan
cepatnya kini Indonesia memasuki era digital. Di masa ini, masyarakat mudah
bersentuhan dengan informasi. Apalagi melalui telepon seluler yang dimiliki
oleh hampir setiap warga dan kemudahan yang disediakan aplikasi seluler untuk
berinteraksi dan mengekspresikan diri secara virtual. Seseorang dapat membaca
berita terkini dalam hitungan menit dan memberitakannya ke lebih banyak orang
dalam satu sentuhan. Hal ini berdampak positif dalam hal kecepatan penyebaran
informasi dan pencerdasan masyarakat.
Tapi, seperti pisau bermata
dua, informasi dapat berdampak negatif. Dalam beberapa tahun terakhir,
informasi digunakan sebagai salah satu senjata untuk mendiskreditkan
pihak-pihak tertentu, menyebarkan terror, dan menimbulkan kebencian.
Kemajuan teknologi informasi
dalam menyikapi beragamnya kearifan lokal dan nilai-nilai yang ada di Indonesia
seharusnya digunakan dengan positif. Di sisi lain, anugerah keberagaman
Indonesia juga dapat digunakan dengan tidak semestinya. Kita mengalami sendiri
bagaimana momen-momen bersejarah negara kita sebagai bangsa Indonesia diwarnai
dengan tragedi dan konflik yang memecah belah persatuan.
Masih segar diingatan kita
bagaimana Pemilu Presiden 2014 memecah belah bangsa Indonesia dengan kampanye
hitam serta kontroversi yang memainkan isu-isu SARA dan sejarah kelam bangsa
Indonesia. Fenomena massa bayaran dan kampanye digital menimbulkan dampak yang
luas dan luka mendalam terhadap bangsa Indonesia. Dengan kecepatan dan masifnya
informasi yang beredar, perlu ketelitian dan kecermatan dalam mengidentifikasi
kebenaran informasi yang kita terima. Setelah riuh Pilpres reda pun,
jejak-jejak digital masa ini masih eksis dan didaur ulang seolah-olah membayangi
jalannya pemerintahan.
Tapi, belum kering luka
kita, Pemilu Gubernur Jakarta pada tahun 2017 membuktikan dampak laten Pilpres
2014 masih sangat besar. Jakarta memang ibu kota Indonesia. Tapi, hanya
penduduk dengan KTP Jakarta yang bisa memberikan suaranya di Pilgub Jakarta.
Sayangnya, kentalnya isu SARA yang dimainkan di sini menjadi konsumsi publik di
luar DKI Jakarta.
Berita bohong masih menjadi primadona.
Kondisi ini membuat Indonesia sebagai bangsa makin terpecah karena dampak
memanasnya ibu kota meluas hingga ke seluruh Indonesia. Hal ini sangat
berpengaruh terhadap hubungan pertemanan mau pun persaudaraan. Ketegangan antar
golongan meningkat dan potensi konflik menjadi lebih tinggi. Selain itu, kondisi
ini membuat budaya hate speech atau
ujaran kebencian semakin membumi.
Banyak pihak berupaya
menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh ujaran kebencian. Misalnya,
pemerintah mengedukasi masyarakat untuk cermat menyikapi informasi melalui
iklan layanan masyarakat yang disiarkan di televisi. Efektivitas edukasi
masyarakat melalui televisi memang tidak bisa dilihat dalam waktu dekat.
Masyarakat Indonesia perlu langsung terlibat dan merasakan indahnya keberagaman
dalam suatu momen yang merupakan perwujudan semangat persatuan dan persahabatan.
Momen itu adalah Asian Games 2018.
Asian Games 2018 adalah momen
untuk mempersatukan kembali Indonesia. Momen untuk merekatkan kembali Indonesia
yang terpecah-pecah. Momen untuk menjalin kembali persahabatan dan kebanggaan
kita sebagai Indonesia dengan mendukung delegasi kita. Tanpa mengenal daerah, bentuk
tubuh, suku, agama, dan spesialisasi, atlet-atlet kita berani menyandang nama
Indonesia di kancah Asia dengan bangga. Mereka menunjukkan bahwa kita bisa
bersatu terlepas dari perbedaan latar belakang kita, ada banyak cara
menunjukkan kebanggan kita terhadap keberagaman Indonesia, dan berkontribusi
terhadap persahabatan dan perdamaian dengan negara-negara lain di Asia. Inilah
momen untuk melanjutkan cita-cita persatuan Indonesia yang luhur terlepas dari
latar belakang kita yang berbeda-beda.
Kita perlu mengingat kembali
bahwa berbagai suku bangsa di Indonesia bersatu karena kesamaan sejarah, yaitu
sebagai subjek suatu pemerintah kolonial di masa lalu. Kali ini, kita bisa
bersatu untuk membela negara kita di ajang olahraga bergengsi di Asia ini. Di
masa depan, kita bisa tetap bersatu untuk mewujudkan Indonesia yang bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur.
Nilai-nilai dalam momen ini bisa
menjadi pupuk untuk melanggengkan persatuan Indonesia dan mempersiapkan kita
dalam menyongsong Pemilu Presiden 2019. Sebagai bangsa Indonesia, kita
mengalami ujian berat dalam menjaga persatuan kita saat menghadapi momen-momen
bersejarah. Semoga melalui Asian Games 2018, kita mampu memperbaiki hubungan
persaudaraan antar sesama bangsa Indonesia dan tidak mudah terpengaruh oleh
ujaran kebencian yang berusaha memecah belah bangsa Indonesia.
Karena itu, Indonesia adalah
satu. Nafas kita adalah satu dalam keberagaman. Seperti halnya Asia yang
didiami oleh beragam suku bangsa dan budaya, kita sangat beruntung dapat
menikmati dinamika keberagaman ini dalam satu wilayah negara Indonesia. Oleh karena
itu, Indonesia memegang peranan penting dalam menjaga persaudaraan dan keragaman
Asia dan tetap menjadi energi positif bagi Asia.