Jumat, 26 Februari 2016

Seragam, Sekolah dan Pendidikan

Tulisan ini dibuat untuk proses seleksi pekerjaan di suatu penerbit Indonesia.



Seragam. Mungkin itu kata pertama ketika kita menanyakan pendapat orang-orang tentang sekolah. Tapi, apa kata pertama yang akan dikatakan orang-orang ketika kita menanyakan pendapat mereka tentang pendidikan?

Menurut KBBI, pendidikan adalah  proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Sementara sekolah adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Lalu seragam adalah sama ragam, memakai pakaian seragam, menjadi seragam.

Sumber: http://36.media.tumblr.com/8e57a4f5bd3fb8b4a5f0132eac5d70a9/tumblr_mgfgusUrz31qfvq9bo1_1280.jpg

Ada satu karikatur yang menarik. Seorang guru menyuruh murid-murid binatangnya menaiki sebatang pohon. Mungkin kita bisa tertawa melihatnya karena sudah jelas bahwa hanya monyet yang mempu melakukannya dengan sangat baik dibanding binatang lainnya. Lalu, bagaimana dengan ikan? Dia bisa mati hanya karena keluar dari akuarium bolanya. Mungkin hal inilah yang membuat sebagian orang merasa miris dan mengungkapkan keprihatinannya pada dunia pendidikan saat ini.

Ternyata tidak hanya di negara-negara maju, di negara berkembang seperti Indonesia pun, karikatur tersebut masih sangat relevan. Bahkan, analogi keseragaman itu tanpa disadari sudah menjadi standar diluar lingkup sekolah berseragam di negara ini.

Perguruan tinggi dan institusi pendidikan yang tidak berseragam ternyata juga memiliki standar keseragaman yang tidak tertulis. Indeks prestasi, masa studi, dan jumlah prestasi di luar kewajiban akademik adalah tiga diantaranya. Semakin baik indeks prestasi seorang mahasiswa, semakin baik pula mahasiswa tersebut dimata orang lain. Semakin sedikit masa studi mahasiswa, semakin luar biasa mahasiswa tersebut. Semakin banyak prestasi yang dimiliki oleh mahasiswa, semakin dihormati ia dilingkungannya.

Apakah ketiganya mampu menunjukkan siapa sebenarnya si mahasiswa? Pada akhirnya, kita terpaku hanya pada kuantitas. Kita menilai seseorang dari satu sisi, seberapa banyak dan baik prestasi orang tersebut.

Lalu, apakah keseragaman itu buruk? Tidak, selama tujuan kita jelas. 

Tujuan penggunaan seragam adalah menimbulkan rasa kesetaraan sebagai sesama murid yang menjalani proses pendidikan dan menempa kedisiplinan. Tapi murid-murid sekolah berseragam tidak pernah diberi pengertian mengapa mereka harus mengenakan seragam. Hingga akhirnya senior-senior mereka di perguruan tinggi lah yang nanti mengajarkan mereka tentang hal ini dalam waktu singkat.

Tentu, para murid itu mengerti tentang kedisiplinan yang diajarkan oleh sanksi yang diberikan oleh guru, teguran dari orang tua, atau bahkan perlakuan tidak patut dari teman mereka sendiri jika seragam yang mereka kenakan tidak sesuai. Pada tahun 2015, ada siswa yang mengalami penganiayaan di Pati karena tidak ada nama dada di seragamnya. Bahkan ada siswa yang meninggal karena memakai seragam yang tidak sesuai untuk upacara di Ternate.

Tapi, apa benar begitu? Karena masih saja ada murid yang menganggap hal ini adalah suatu tantangan. Tantangan untuk sukses tidak dikenai sanksi jika mereka melakukan pelanggaran.

Murid-murid seperti itu biasa dianggap anomali di lingkungannya. Padahal standar yang digunakan untuk menilai perilaku semacam ini juga dibentuk oleh lingkungan itu sendiri. Jika monyet yang pintar memanjat disuruh berenang oleh sang guru, apakah monyet bisa melakukannya sebaik ikan? Tentu kita paham bahwa sang guru tidak bisa memaksa monyet untuk berenang karena perbedaan fisiologis dan habitatnya.

Kita tidak bicara mengenai monyet dan ikan. Keduanya sudah jelas dari dua spesies berbeda. Jika kita bicara mengenai satu spesies yang sama tapi dengan karakteristik berbeda, kita bisa melihatnya dari satu sudut pandang tertentu.

Menurut ilmu psikologi, manusia memiliki potensi diri yang berbeda dari makhluk lainnya. Tiap manusia juga memiliki potensi yang unik dan berbeda dari manusia yang lainnya. Potensi diri ini bisa disebut juga dengan kecerdasan. Potensi diri dari adalah kemampuan untuk menalar dan menyelesaikan masalah serta menciptakan kreasi berdasarkan berbagai sudut pandang pada satu waktu. Howard Gardner telah merumuskan delapan jenis potensi diri. Bisa jadi seseorang memiliki lebih dari satu potensi diri3.

Mari kita lihat karikatur di awal tulisan ini. Misalkan saja tiap individu di gambar tersebut memiliki kecerdasan masing-masing, apa yang akan terjadi, ya?

Sang guru memiliki kecerdasan linguistik sehingga beliau mampu menginstruksikan murid-muridnya dengan jelas dan tepat sesuai dengan apa yang buku teks sebutkan. Lalu ada si monyek dengan kecerdasan kinestetisnya mampu memanjat pohon dengan mudahnya dengan kelenturan dan refleks tubuhnya. Si pinguin dengan kecerdasan musikalnya dengan mudah bisa mengenali suara-suara di alam dan menari dengan gerakan yang indah walau pun dia tidak mampu memanjat pohon. Ada juga si gajah dengan kecerdasan numeriknya mampu berpikir logis dan terstruktur sehingga dia bisa menjelaskan dengan runut ke sang guru bahwa dia tidak mungkin bisa memanjat pohon tersebut, tapi dia bisa meraih cabangnya dengan belalainya yang bergerak dengan teori alam.

Kemudian si ikan dengan kecerdasan interpersonalnya mampu mengungkapkan dengan baik pikirannya bahwa dia tidak akan mampu melakukan tugas itu dan sang guru mampu menerimanya, bahkan iba terhadap keadaan ikan. Pemilik kecerdasan visual serta intrapersonal, si anjing laut, memberikan gambarnya yang indah akan rumahnya dan bagaimana dia merasa bahwa pohon itu asing dan menyeramkan lalu membayangkan bahwa pohon itu akan lebih baik baginya jika menjadi laut lepas kepada sang guru. Lalu si rubah, pemilik kecerdasan naturalis, sebelum dia mencoba memanjat pohonnya, dia menjelaskan dengan rinci bagian-bagian pohon dan kategori ilmiah pohon tersebut.

Nah, apakah kekayaan kecerdasan para murid ini akan sia-sia? Boleh kita berandai-andai bagaimana sang guru menangani murid-muridnya yang unik ini. Tapi lebih baik jika kita menyadari dan menghargai perbedaan pribadi-pribadi dalam satu ruang kelas yang besar bernama dunia ini.