Minggu, 03 Desember 2017

Semangat Indonesia Untuk Asian Games 2018


Kepada Indonesia tercinta,

Asian Games 2018 sebentar lagi. Setelah 56 tahun, Indonesia akhirnya menjadi tuan rumah Asian Games lagi. Ya, Indonesia pernah menjadi tuan rumah Asian Games ke-4 di tahun 1962, menjadikan Indonesia salah satu negara penyelenggara sekaligus yang tidak pernah absen mengikuti ajang olahraga terbesar kedua di dunia ini.

Asian Games 2014, yang terakhir, di selenggarakan di Incheon, Korea Selatan. Indonesia berkompetisi dengan atlet-atlet dari 45 negara lainnya dan mengantongi 4 emas, 5 perak, dan 11 perunggu di 36 cabang olahraga. Indonesia memang belum memecahkan rekor pendapatan medali setelah Asian Games ke-4, tapi partisipasi Indonesia di ajang ini menunjukkan usaha Indonesia untuk mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia seperti yang diamanatan di Pembukaan UUD 1945. Karena, pada awalnya, ajang ini bertujuan untuk untuk menunjukkan dominasi Asia melalui semangat persatuan dan kehebatan Asia kepada dunia dengan cara nonmiliter.

Dalam prosesnya, banyak konflik dan krisis mewarnai penyelenggaraan ajang empat tahunan ini. Mulai dari konflik internal negara-negara anggota hingga konflik antarnegara dan antarwilayah di Asia. Misalnya, pada Asian Games ke-4, Indonesia sendiri tidak menerbitkan visa untuk delegasi dari Israel dan Taiwan karena tekanan dari negara-negara Arab dan China. Hal ini membuat dianulirnya penyelenggaraan cabang olahraga angkat besi. Walaupun begitu, penyelenggaraan Asian Games ke-4 di Gelora Bung Karno saat itu bisa dibilang sukses dan menjadi tonggak sejarah penting media di Indonesia.

Setahun sebelum Asian Games ke-4, Presiden Soekarno memberi perintah untuk mendirikan televisi nasional. Tujuannya agar warga Indonesia dapat mendukung para delegasi yang bertanding di Asian Games. Pendirian stasiun televisi nasional ini masuk dalam proyek penyelenggaraan Asian Games ke-4 dan rampung sebelum peringatan proklamasi kemerdekaan RI tahun 1962.

Televisi Republik Indonesia atau TVRI menjadi nama resmi stasiun TV nasional Indonesia dan menjadikan peringatan proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1962 di Istana Merdeka, Jakarta sebagai siaran percobaannya. Tidak lama kemudian, upacara pembukaan Asian Games ke-4 tanggal 24 Agustus 1962 di Gelora Bung Karno menjadi siaran perdana TVRI. Setelah itu, TVRI berkembang tidak hanya menjadi satu-satunya media yang mampu menjangkau seluruh wilayah nusantara hingga pelosok tapi juga sebagai corong propaganda pemerintah.

Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, TVRI bukan hanya satu-satunya media yang mudah diakses masyarakat. Pasca reformasi, pemerintah mendorong kebebasan pers dan dengan cepatnya kini Indonesia memasuki era digital. Di masa ini, masyarakat mudah bersentuhan dengan informasi. Apalagi melalui telepon seluler yang dimiliki oleh hampir setiap warga dan kemudahan yang disediakan aplikasi seluler untuk berinteraksi dan mengekspresikan diri secara virtual. Seseorang dapat membaca berita terkini dalam hitungan menit dan memberitakannya ke lebih banyak orang dalam satu sentuhan. Hal ini berdampak positif dalam hal kecepatan penyebaran informasi dan pencerdasan masyarakat.

Tapi, seperti pisau bermata dua, informasi dapat berdampak negatif. Dalam beberapa tahun terakhir, informasi digunakan sebagai salah satu senjata untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu, menyebarkan terror, dan menimbulkan kebencian.

Kemajuan teknologi informasi dalam menyikapi beragamnya kearifan lokal dan nilai-nilai yang ada di Indonesia seharusnya digunakan dengan positif. Di sisi lain, anugerah keberagaman Indonesia juga dapat digunakan dengan tidak semestinya. Kita mengalami sendiri bagaimana momen-momen bersejarah negara kita sebagai bangsa Indonesia diwarnai dengan tragedi dan konflik yang memecah belah persatuan.

Masih segar diingatan kita bagaimana Pemilu Presiden 2014 memecah belah bangsa Indonesia dengan kampanye hitam serta kontroversi yang memainkan isu-isu SARA dan sejarah kelam bangsa Indonesia. Fenomena massa bayaran dan kampanye digital menimbulkan dampak yang luas dan luka mendalam terhadap bangsa Indonesia. Dengan kecepatan dan masifnya informasi yang beredar, perlu ketelitian dan kecermatan dalam mengidentifikasi kebenaran informasi yang kita terima. Setelah riuh Pilpres reda pun, jejak-jejak digital masa ini masih eksis dan didaur ulang seolah-olah membayangi jalannya pemerintahan.

Tapi, belum kering luka kita, Pemilu Gubernur Jakarta pada tahun 2017 membuktikan dampak laten Pilpres 2014 masih sangat besar. Jakarta memang ibu kota Indonesia. Tapi, hanya penduduk dengan KTP Jakarta yang bisa memberikan suaranya di Pilgub Jakarta. Sayangnya, kentalnya isu SARA yang dimainkan di sini menjadi konsumsi publik di luar DKI Jakarta.

Berita bohong masih menjadi primadona. Kondisi ini membuat Indonesia sebagai bangsa makin terpecah karena dampak memanasnya ibu kota meluas hingga ke seluruh Indonesia. Hal ini sangat berpengaruh terhadap hubungan pertemanan mau pun persaudaraan. Ketegangan antar golongan meningkat dan potensi konflik menjadi lebih tinggi. Selain itu, kondisi ini membuat budaya hate speech atau ujaran kebencian semakin membumi.

Banyak pihak berupaya menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh ujaran kebencian. Misalnya, pemerintah mengedukasi masyarakat untuk cermat menyikapi informasi melalui iklan layanan masyarakat yang disiarkan di televisi. Efektivitas edukasi masyarakat melalui televisi memang tidak bisa dilihat dalam waktu dekat. Masyarakat Indonesia perlu langsung terlibat dan merasakan indahnya keberagaman dalam suatu momen yang merupakan perwujudan semangat persatuan dan persahabatan. Momen itu adalah Asian Games 2018.

Asian Games 2018 adalah momen untuk mempersatukan kembali Indonesia. Momen untuk merekatkan kembali Indonesia yang terpecah-pecah. Momen untuk menjalin kembali persahabatan dan kebanggaan kita sebagai Indonesia dengan mendukung delegasi kita. Tanpa mengenal daerah, bentuk tubuh, suku, agama, dan spesialisasi, atlet-atlet kita berani menyandang nama Indonesia di kancah Asia dengan bangga. Mereka menunjukkan bahwa kita bisa bersatu terlepas dari perbedaan latar belakang kita, ada banyak cara menunjukkan kebanggan kita terhadap keberagaman Indonesia, dan berkontribusi terhadap persahabatan dan perdamaian dengan negara-negara lain di Asia. Inilah momen untuk melanjutkan cita-cita persatuan Indonesia yang luhur terlepas dari latar belakang kita yang berbeda-beda.

Kita perlu mengingat kembali bahwa berbagai suku bangsa di Indonesia bersatu karena kesamaan sejarah, yaitu sebagai subjek suatu pemerintah kolonial di masa lalu. Kali ini, kita bisa bersatu untuk membela negara kita di ajang olahraga bergengsi di Asia ini. Di masa depan, kita bisa tetap bersatu untuk mewujudkan Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Nilai-nilai dalam momen ini bisa menjadi pupuk untuk melanggengkan persatuan Indonesia dan mempersiapkan kita dalam menyongsong Pemilu Presiden 2019. Sebagai bangsa Indonesia, kita mengalami ujian berat dalam menjaga persatuan kita saat menghadapi momen-momen bersejarah. Semoga melalui Asian Games 2018, kita mampu memperbaiki hubungan persaudaraan antar sesama bangsa Indonesia dan tidak mudah terpengaruh oleh ujaran kebencian yang berusaha memecah belah bangsa Indonesia.

Karena itu, Indonesia adalah satu. Nafas kita adalah satu dalam keberagaman. Seperti halnya Asia yang didiami oleh beragam suku bangsa dan budaya, kita sangat beruntung dapat menikmati dinamika keberagaman ini dalam satu wilayah negara Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memegang peranan penting dalam menjaga persaudaraan dan keragaman Asia dan tetap menjadi energi positif bagi Asia.


Kamis, 05 Januari 2017

Kawaii | Kowaii

Kawaii tidak sekadar "cute" atau "imut".

Berasal dari ungkapan abad ke-11, "kawa hayushi" (muka yang memerah) yang berarti menjadi malu; berubah menjadi "kawayui" yang berarti malu atau tidak nyaman di abad ke-12; serta mengalami penambahan makna, berempati terhadap sesuatu/seseorang yang menyedihkan. Kata "kawaisou" merupakan kata turunan yang berarti malang, miskin, menyedihkan. "Kawaii" dalam arti menyenangkan, cantik dan imut muncul pada abad ke-16. Jadi, bisa dikatakan kawaii menimbulkan rasa kasih karena adanya empati.

Kawaii juga didefinisikan sebagai seseorang/sesuatu yang kecil, polos, lemah, belum dewasa, belum sempurna, sekejab, yang ingin dilindungi, menghentikan waktu, menunda pertumbuhan atau pendewasaan. [Inuhiko Yomata, A Theory on Kawaii, 2006]

Sering kali hal ini menimbulkan dikotomi yang sudah familiar, melindungi|dilindungi, menguasai|dikuasai, mengotrol|dikontrol. Tapi kawaii juga bisa lebih berkuasa karena kawaii belum dewasa/sempurna, objek kawaii tidak benar-benar bisa dipahami. Karena itu, ada kemungkinan kawaii menjadi sesuatu yang luar nalar. Ini juga berarti hal-hal yang kawaii lebih dari kita.
© 2017 SANRIO CO., LTD.

Lihat saja Hello Kitty dengan muka datarnya dan tokoh kucing yang dimanusiakan dalam shōjo manga. Terutama kucing, dengan dualisme karakter tanpa kontradiksi, hidup dengan mandiri dan liar namun tetap melakukan kontak dengan manusia dengan caranya yang khas, merupakan perwujudan sempurna ke-kawaii-an bagi gadis2 Jepang tahun 70an dan cara kucing dipandang dalam budaya Jepang.

Tahun 1990, muncul kucing yang "kowaii". Kowaii berarti menakutkan. Istilah baru bagi hal-hal kawaii dengan ekspresi yang menakutkan. Lihat saja manga Nekojiru Udon yang menceritakan kisah petualangan Nyatta dan Nyako.
Nyatta & Nyako dari Nekojiru Udon
Hello Kitty dan hal-hal kawaii lainnya hadir dengan ketidakmampuannya berekspresi sehingga. Hello Kitty dan hal-hal kawaii lainnya sengaja dibuat bisu (tidak berbicara) agak penikmat (pembaca, penonton, pembeli, dll) lebih menyukai mereka, mengasosiasikan diri dengan mereka, atau hingga menimbulkan rasa ingin menguasai. Nyatta dan Nyako menghancurkan pandangan itu dengan cara mereka bertindak dan berbicara. Walaupun dengan cara yang aneh dan sadis.

TAMALA 2010
Tamala 2010 adalah kucing lain yang memberikan gambaran tentang konsep kawaii pada abad ke-21. Tamala memang kucing yang polos, tapi dia egois dan mementingkan dirinya sendiri. Dia tidak memberikan rasa kedekatan, kehangatan dan kasih yang muncul pada hal-hal kawaii lainnya. Pada akhirnya, dia menjadi objek yang diinginkan oleh seluruh galaksi dengan muncul di iklan perusahaan besar di galaksi. Dia menjadi komoditas; film animasi ini menggambarkan bagaimana kedekatan hal-hal kawaii dengan masyarakat kapitalistis dan materialistis kita sekarang ini.